KH. Bahauddin Nur Salim atau Gus Baha bertemu dengan tim kajian dan penyusunan mushaf ragam qira'at Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ), Balitbang dan Diklat, Kemenag. Dalam pertemuan itu Gus Baha menyampaikan usulan dan gagasan terkait kajian Al-Qur'an yang perlu dilakukan LPMQ di masa mendatang.
Pertama, Tafsir Tematik bab ilmu tauhid untuk masyarakat umum dan anak-anak kecil. Penanaman tauhid kepada masyarakat sudah dilakukan oleh para kiai sejak dahulu. Penanaman ilmu tauhid penting, sehingga ketika tauhid kokoh masyarakat memiliki landasan yang kuat dalam memeluk Islam. Meskipun, terkadang masih berbuat maksiat tapi tepat Islam dan tidak mau berpindah agama.
“Nah, kiai-kia di desa itu mengulang-ulang tauhid ini kepada siapa saja; kepada orang miskin, orang kaya, orang pelit, orang belum salat, orang gak punya peradaban dan sebagainya sehingga materi tauhid seakan-akan sudah lazim. Hingga tauhid ini tidak terotak-atik, bahkan Iblis rapat berkali-kalipun gak bisa berubah. Karena sudah mapan dan rasikha. Ini yang harus diteruskan,”terang Gus Baha dalam pertemuan terbatas dengan Tim Pengkajian LPMQ, Jumat (02/08/2024) di Kudus, Jawa Tengah.
Gus Baha mencontohkan, orang yang masih suka maksiat, ia tidak mau kalau disuruh pindah agama. Hal ini, karena para kiyai berhasil menanamkan logika tauhid kepada mereka. Meski, suka maksiat tapi tetap ingin memeluk Islam.
“Kemenag bisa bikin buku panduan yang menyasar masyarakat umum (awan), kemudian ada penyuluhnya di kampung-kampung kemudian itu menjadi lazim,” lanjut Gus Baha menjelaskan lebih teknis.
“Selama ini, produk-produk masih untuk kalangan kelas menengah. Nah, kita kiai-kiai ini ingin melindungi akidah benar milik siapa saja, dan itu sesuai dengan hadis Nabi Man Qala la Ilaha Ilallah dakhalal jannah. Lanjutannya, mohon maaf, wain zana wain saraqa,” lanjut beliau menambah penjelasan.
Gus Baha, menekankan agar tauhid menjadi cahaya bagi seluruh manusia (nuran yamsyi bihi fin nas). Bukan hanya orang-orang tertentu yang salih, yang alim, tapi kepada seluruh manusia yang masih banyak bermaksiat sekalipun.
Kedua. Penyusunan Tafsir bernuansa fikih. Menurut Gus Baha, kajian fikih tetap dibutuhkan masyarakat. Penjelasan ayat Al-Qur'an dalam bentuk tafsir yang terkait dengan ayat-ayat fikih harus jelas. Termasuk dalam pemilihan diksi bahasa yang lazim sesuai dengan kebiasaan masyarakat Indonesia.
Beliau mencontohkan tafsir Surah an-Nisa: 24, tentang pemberian mahar bagi perempuan yang ditalak. Dalam ayat itu, kata yang digunakan adalah ‘ujurahunna’. Kalau kata ini diterjemahkan apa adanya maka artinya ‘imbalan’. Bagi orang Indonesia ini tidak pas. Yang sesuai adalah mahar. Mahar setengah setelah akad, mahar penuh setelah jima.
“Konstruksi dalam kajian tafsir yang ada penjelasan fikih harus utuh. Yang tidak utuh harus ada penjelasan,“ tegas Gus Baha.
Terkait kajian fikih, Gus Baha menegaskan fikih itu penting, maka menafsirkan Al-Qur’an selain memastikan makna lafaznya benar, yang paling penting harus menjadi solusi bagi masyarakat di mana Al-Qur’an itu didakwahkan; karena Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa lisan kaumnya (bilisani qaumihi). Persoalan yang banyak terjadi di masyarakat adalah persoalan fikih.
Selain itu, berulang-ulang Gus Baha mengajak orang berilmu untuk aktif menyampaikan kebenaran. Karena kebenaran itu harus disampaikan. Bisa melalui tulisan, ceramah, mengajar, sosialisasi dan sebagainya. Berkahnya mengampanyekan kebenaran banyak orang dapat petunjuk. Orang yang tahu kebenaran tapi tidak menyampaikan seperti setan bisu (syaithanun ahras).
“Ahlul qur’an itu yang mendakwahkan kebenaran. Bihi qamal kitab, wabihi qamu. Berkahnya orang dakwah kebenaran Al-Qur'an tegak dan dikenal, sekaligus mereka bertindak berdasarkan Al-Qur’an”.