Hadir sebagai narasumber Focus Group Discussion (FGD) Kajian Pengembangan Mushaf Standar Indonesia yang mendiskusian persoalan dhabt (tanda baca), waqaf dan ibtida (berhenti dan memulai bacaan), Gus Ghofur menyampaikan bahwa dalam perkara waqaf dan ibtida', dia lebih suka mengikuti mazhab ulama yang memudahkan.
"Dalam waqaf dan ibtida, saya akan menyampaikan yang mudah-mudah saja. Agar kita tidak berat atau terlalu takut salah dalam membaca Al-Qur'an," ungkapnya di Gedung Bayt Al-Qur'an, Jakarta, pada Selasa (19/11) siang hari.
Pernyataan tersebut ia kuatkan dengan beberapa argumen yang dikutip dari pendapat para ulama Al-Qur'an. Menurutnya, kriteria penetapaan tanda waqaf berbeda-beda menurut para ulama. Imam Nafi 'yurai maknaha bi hasabil-makna' memperhatikan pemberian tanda waqaf berdasarkan makna ayat. Ibnu Katsir dan Hamzah, 'haitsu yanqathiu an-nafs', memperhatikan panjang-pendeknya nafas. Semakin sedikit waqaf, semakin baik. Kalau Abu Amr 'yatammadu ala ru'usil-aiy', setiap ada tanda satu ayat penuh, berhenti. Bahkan ada yang mengatakan, 'al-waqfu alaihi sunnah', waqaf pada ra'sul ayat (kepala ayat) adalah sunnah. Pendapat senada juga disampaikan oleh Imam Al-Baihaqi, 'al-waqfu ala ru'usil ayat sunnah muttaba'ah wa in ta'alaqat bima bakdaha', berhenti pada kepala ayat adalah sunnah yang patut diikuti, meskipun ada kaitan makna dengan ayat berikutnya.
Gus Ghofur memberikan contoh, tempat berhenti di ra'sul kalimat, 'fawailun lil-mushallin', Surah al-Maun ayat 4. "Banyak ulama yang melarang berhenti pada ra'sul ayat ini. Harus dilanjutkan, atau disambung dengan ayat berikutnya. Dalam kaidah-kaidah waqaf berhenti di situ tidak diperbolehkan. Karena khawatir, salah pengertian. Orang salat kok dimasukkan neraka wail. Seharusnya dilanjutkan dengan ayat berikutnya. Sehingga maknanya jelas, yaitu orang salat yang lalai.
Tapi, kalau kita mengikuti pendapat Imam Baihaqi, berhenti (waqaf) di situ tidak apa-apa. Karena berhenti pada ra'sul ayat adalah sunnah yang patut diikuti. Yang penting tidak qathu, atau berhenti di situ dan tidak melanjutkan membaca. Demikian Doktor Tafsir lulusan al-Azhar Kairo itu menjelaskan.
Sebelumnya Ghofur menyampaikan, mengerti perkara waqaf dan ibtida sama dengan mengerti setengah dari Al-Quran. Seperti perkataan Imam Ali bahwa ketika menjelaskan makna tartil yaitu tajwidul-huruf wa ma'rifatul waquf, membaguskan bacaan dan mengerti tentang waqaf.
Ghofur melanjutkan, ada juga ulama yang berpendapat bahwa kalimatani atau dua kalimat dalam Al-Quran itu 'ka al-kalimah wahidah' seperti satu kalimat utuh. Tidak boleh dipotong-potong dengan bernafas. Sedangkan Ibn Aljazari mengatakan, tidak mungkin membaca satu qadhiyyah dalam Al-Quran dengan satu tarikan nafas. Karena itu panjang sekali dan berat. Dan menurut kesepakatan para quro' tidak mungkin membaca dua kalimat itu seperti membaca satu kalimat. Dalam arti, tidak boleh diputus di tengah jalan dengan bernafas. Karena 'kalimatani fil-Quran kal-kalimah wahidah'. Dua kalimat dalam Al-Quran itu seperti satu kesatuan kalimat. Tidak boleh dipisah atau dipotong-potong dengan nafas.
Sebab itu, para ulama membantu dengan memberikan tanda waqaf, agar pembaca Al-Quran tidak salah dalam berhenti. Dalam hal ini ini para ulama ada yang ketat, namun ada juga yang agak longgar. Ghofur memilih pendapat yang meringankan. Ia membahasakan dengan istilah longgar.
"Yang ingin saya sampaikan saat ini adalah hal-hal yang mudah saja. Biar kita ini agak longgar-longgar dikit dalam memberikan atau memperlakukan waqaf, tidak terlalu takut-takut dalam membaca Alquran." Ungkapnya.
Bila kita mendapati ungkapan-ungkapan dalam buku waqaf seperti 'Qauluhum la yajuzul waqfu fil mudhaf dunal mudhaf alaihi' atau tidak boleh berhenti dalam mudhaf (kata penyandar) tanpa mudhaf ilaihi (kata yang dijadikan sandaran). Menurut ibn Al-Jazari, 'innama yuriduna al-Jawas al-adai, wahuwa alladzi yahsunu fil qiraah wayaruhu alaihi, wala yuriduna biha annahu haramun wala makruhun'. Menurut Ibnul Jazari, larangan di atas adalah dalam rangka untuk memperbaiki bacaan agar terdengar indah, bukan larangan yang bersifat haram atau makruh.
"Larangan di atas bukan berarti salah sedikit dalam waqaf kemudian dihukumi berdosa. Wah, bisa-bisa kalau kamu salah waqaf ketika membaca Al-Quran, kamu bisa dilaknat Al-Quran. ini menakutkan sekali." Jelas Ghofur disambut tawa peserta kegiatan.
Ghofur lebih sependapat dengan mazhab yang meringankan. Bahwa yang dimaksud tidak boleh itu bertujuan agar bacaannya lebih indah, lebih tepat, bukan persoalan haram dan dosa.
Dalam kesempatan itu, Ghofur juga menyampaikan berapa fakta terkait bacaan para imam yang banyak beredar melalui kaset-kaset. Menurutnya, banyak sekali imam internasional berhenti di sembarang tempat, tidak sesuai dengan kaidah dalam buku-buku waqaf. Dan itu biasa-biasa saja. Mereka juga tidak mengulangi atau memulai (ibtida') dari ayat sebelumnya.
Prinsip mengikuti yang mudah seperti ini juga telah dicontogkan oleh para ulama penyusun tanda baca Muahaf Standar Indonesia. Mereka telah merumuskan sistem pemberian harakat yang lengkap, untuk memudahkan. Dan itu, menurut Ghofur, sangat membantu dan memudahkan masyarakat kita dalam membaca Al-Qur'an.
Dalam kesempatan tersebut, Ghofur juga memberikan masukan agar dalam penyelarasan tanda waqaf Mushaf Standar nanti, tim penyusun memperhatikan surah-surah yang panjang, agar diberikan tanda waqaf, untuk memudahkan nafas pembaca. Seperti dalam Surah al-Baqarah ayat 177. Dalam mushaf terbitan Saudi Arabia di ayat itu baru ada tanda waqaf pada baris kelima. "Ini sangat menyulitkan pembaca!" Jelas putra (alm) Kiyai Maimoen Zubair tersebut. [bp]