Ini, Pesan Kiai Mustain Syafii Kepada Calon Pegembang Tafsir Al-Qur'an

Ini, Pesan Kiai Mustain Syafii Kepada Calon Pegembang Tafsir Al-Qur'an

Dr. KH. Mustain Syafii, membekali calon Fungsional Pengembang Tafsir Al-Quran (JF PTQ), Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ) untuk memperhatikan makna dasar Bahasa Arab dalam ayat-ayat Al-Qur'an ketika menerjemahkan atau menafsirkan Al-Qur'an. Pesan ini disampaikan pada acara Diseminasi Hasil Kajian Al-Qur’an, Selasa, (23/07/2024) di PP. Hamalatul Qur’an, Jombang, Jawa Timur.

Menurutnya, kesalahan penafsiran banyak terjadi karena tidak tepat dalam memaknai diksi Bahasa Arab dalam Al-Qur'an. Kiai Mustain menyebutkan beberapa contoh kesalahan pemaknaan yang ia temukan dan kesalahan itu terlanjur menyebar di masyarakat bahkan di kalangan pesantren. Dari beberapa temuan itu seperti kisah Nabi Yunus yang diyakini ditelan ikan besar sampai ke dalam perut.

“Kata Faltaqmahul Hutu, bukan ditelan masuk ke dalam perut. Iltaqama itu ditelan hanya sampai ke rongga mulut. Kalau sampai ke dalam Balaa, seperti ayat waqila ya ardublai maaki dalam kisah Firaun,” jelasnya.

Contoh berikut yang disampaikan Kiai Tain, sebutan akrab beliau, adalah makna tujuan pernikahan dalam Surah Ar-Rum: 21. Dari ayat ini sering dimaknai bahwa tujuan menikah itu adalah untuk memperoleh sakinah, wawaddah, dan rahmah. Menurutnya, pemaknaan seperti itu tidak betul kalau teliti dalam memaknai.

“Tujuan menikah sesuai ayat ini adalah sakinah saja. Karena setelah ada lam ta'lil, li taskunu ilaiha. Setelah itu ada waw ataf (waw penghubung). Selain itu, diawali dengan kata khalaqa yang dipakai untuk penetapan Qadha (ketetapan prerogatif Allah) yaitu perjodohan. Adapun mawaddah dan rahmah diawali dengan kata ja'ala yang terkait dengan hal-hal teknis,” lanjutnya menerangkan.

Mawaddah itu kasih sayang kaitannya dengan syahwat dan rahmah kasih sayang pada pasangan yang sudah tua dan tidak ada syahwat. Keduanya adalah teknis untuk memperoleh sakinah,” jelas Kiai Tain.  

Pesan Kiai Tain kedua kepada calon JF PTQ adalah agar membaca karya tafsir para ulama dengan sikap kritis. Sikap kritis yang dimaksud adalah sikap tidak langsung percaya begitu saja tanpa disertai telaah mendalam dalam berbagai aspek dalam penafsiran Al-Qur'an.

Kiai Tain menyampaikan contoh penafsiran kata ‘Abasa wa tawalla. Dalam kitab-kitab tafsir, secara umum, subjek kalimat ini adalah Nabi Muhammad Saw. Kiai Tain tidak menyalahkan penafsiran ini, tapi beliau memilih tidak memilih penafsiran seperti ini.  

Dengan wajah yang terlihat sedih Kiai Tain mengatakan dirinya tidak tega mensifati Nabi sebagai orang bermuka masam dan berpaling. Menurutnya, Nabi Muhammad adalah manusia dengan akhlak mulia. Bahkan Allah pun tidak pernah menyebut beliau dalam Al-Quran dengan namanya, seperti menyebut nabi-nabi lain, seperti ya Musa, Ya Harun dan sebagainya, tetapi memanggil dengan gelarnya, ya Rasulallah.  

“Nabi itu sopan, bahkan Allah sopan kepada beliau. Semua Nabi disebut namanya oleh Allah dalam Al-Qur'an. Tapi Nabi Muhammad disebut dengan jabatannya. Maka saya tidak tega menafsiri seperti itu,” jelas Kiai Mustain dengan raut wajah menahan sedih.  

“Selain itu, dalam surah al-Muddatstsir ada ayat Tsumma abasa wabasar, subjek ayat ini adalah Walid bin Mughirah dan Walid ini adalah orang yang dulu ditemui Nabi saat surah Abasa turun, apakah tidak mungkin bila subjek dalam surah Abasa adalah Walid bin Mughirah?,” Lanjut Kiai Tain mempertanyakan.

Selain itu, Kiai Tain juga mengapresiasi kinerja LPMQ dan produk-produk hasil kajiannya. Kiai Tain senang, LPMQ menjaga mushaf Al-Qur'an yang beredar di masyarakat Indonesia satu rasm dan yang dikedepankan adalah riwayah bukan dirayah. Begitu juga terjemahan Al-Qur'an yang peruntukannya bagi masyarakat umum.   

“Saya senang mendengar penjelasan dari kepala LPMQ, yang dimenangkan adalah riwayah bukan dirayah. Dan biarlah dirayah menjadi konsumsi kalangan akademik. Untuk masyarakat yang mudah dan jelas-jelas saja,” ungkapnya.  

Terakhir, Kiai Tain menyatakan tugas penafsir atau penerjemah Al-Qur'an adalah sebatas yang ia  tahu dari makna Al-Qur'an. Mesti ada kurangnya. Karena tidak ada manusia yang mampu menguasai kedalaman makna Al-Qur'an secara keseluruhan. Karenanya, para ulama mengatakan ‘ala qadri thaqatil basyariyyah (sebatas kemampuan manusia saja).

Senada dengan usulan Kiai Tain, kepala LPMQ Abdul Aziz mengatakan, bahwa mushaf terbitan Kementerian Agama dan penerbit Al-Qur’an di Indonesia yang beredar di masyarakat mayoritas adalah Mushaf Standar Indonesia, dengan rasm usmani dan pojok. [bp]

 

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved