Menteri Agama Kabinet Kerja 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin, menghadiri Sidang Pleno I Kajian dan Penyusunan Tafsir Tematik Moderasi Beragama yang diselenggarakan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) pada hari Selasa (15/6/2021) di Karawang.
Lukman bersyukur sekaligus mengapresiasi komitmen LPMQ yang konsisten menguatkan gagasan moderasi beragama dengan menyusun Tafsir Tematik Moderasi Beragama. Selain berfungsi sebagai buku rujukan moderasi beragama dalam perspektif tafsir, buku ini akan bermanfaat bagi para penyuluh agama yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. "Buku tafsir ini adalah bagian dari ikhtiar memenuhi kebutuhan penyuluh agama dalam menyampaikan materinya berdasarkan dalil-dalil Al-Qur'an dan hadis Rasulullah Saw," kata Lukman.
Selanjutnya, Lukman menyampaikan beberapa masukan kepada tim penulis berdasarkan draf buku yang telah diterimanya. Pertama, pada bagian pendahuluan, perlu dijelaskan terlebih dahulu konteks moderasi dalam kaitannya dengan relasi antara agama dan negara. Karena dalam dunia modern keberadaan agama tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan negara. Dalam konteks Indonesia, sebagai sebuah negara dan bangsa yang agamis, menjelaskan eksistensi agama itu menjadi teramat penting. "Bagaimana hubungan antara agama di satu sisi dengan negara di sisi lain, perlu dijelaskan agar tidak lepas konteks," paparnya.
Dalam penjelasannya melalui tampilan slide, Lukman menyatakan bahwa dalam konteks Indonesia, setidaknya pengaturan negara atas agama dapat dikelompokkan ke dalam tiga macam: pertama, negara harus hadir dan turut mengatur; kedua, negara boleh hadir; ketiga, negara tidak boleh hadir.
Pertama, negara harus hadir mengatur pemberlakuan syariat (norma hukum) agama yang bersifat nilai-nilai universal, seperti: penegakan keadilan, perlindungan hak dasar manusia, persamaan di muka hukum, dll. Inilah syariat atau norma hukum yang universal, yang kebenarannya diakui oleh semua umat manusia dan semua penganut agama. Kedua, negara boleh mengatur dan memberlakukan syariat atau norma agama yang kebenarannya belum tentu diakui oleh semua penganut agama, tetapi implementasinya berdampak pada ketertiban umum. Pengaturan norma agama seperti ini dimungkinkan diatur negara, selama pengaturannya itu memenuhi ketentuan mekanisme demokrasi dalam proses legislasi yang disepakati bersama. Ketiga, negara tidak perlu ikut mengatur dan terlibat menegakkan syariat atau norma agama yang kebenarannya masih diperdebatkan (khilafiyah) di antara penganut satu agama. Negara cukup menyerahkan pelaksanaan norma agama seperti level ketiga ini kepada setiap penganut agama sesuai dengan keyakinannya, tanpa negara ikut intervensi mengaturnya.
Lukman menambahkan, terkait relasi agama dan negara, Indonesia memiliki kekhasannya tersendiri, yang dinilai dunia sebagai kelebihan. Kekhasan yang dimaksud adalah agama tidak menyatu dengan negara, tapi juga bukan negara sekuler, yang memisahkan agama dengan negara; di mana agama menjadi urusan personal warga negaranya. Negara tidak turut serta mengatur agama. Dalam negara sekuler urusan agama sepenuhya diserahkan kepada individu.
"Indonesia bukan negara yang lebur secara penuh dengan agama, juga bukan negara sekuler, yang terpisah sama sekali dengan agama," jelas alumni Pesantren Gontor tersebut di hadapan tim penulis.
"Indonesia bukanlah salah satu dari keduanya. Indonesia adalah negara yang tidak boleh terlalu campur tangan mengurusi kehidupan keagamaan warganegaranya, tetapi juga tidak boleh terlalu lepas tangan. Indonesia memposisikan agama sedemikian rupa, dan sangat vital dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat" tambahnya menjelaskan.
Masukan kedua dari Lukman, penerapan moderasi beragama harus diletakkan dalam konteks kehidupan bersama. Dalam kaitan itu, setidaknya ada empat kata kunci yang harus terangkum dalam pengertian tentang Moderasi Beragama (MB): 1. MB adalah cara pandang, sikap, atau praktik beragama dalam konteks kehidupan bersama, bukan dalam konteks individual; 2. MB terkait dengan pengejawantahan inti pokok ajaran agama: perlindungan kemanusiaan dan pewujudan kemaslahatan; 3. MB berprinsipkan keadilan dan keberimbangan (tawazun); dan 4. Pelaksanaan MB haruslah mentaati konstitusi dan kesepakatan bersama.
Inilah empat kata kunci yang harus ada dalam term moderasi beragama. Lebih lanjut Lukman menyatakan bahwa spirit moderasi beragama adalah mewujudkan tujuan pokok ajaran agama yaitu memanusiakan manusia dan merealisasikan kemaslahatan bersama.
Moderasi yang dimaksud adalah moderasi beragama, bukan moderasi agama. Karena agama sudah pasti moderat. Tapi bagaimana cara kita beragama: cara memahami, memaknai, dan mengamalkan agama, itulah yang perlu dimoderasi.
Tentang mengapa moderasi beragama perlu diarusutamakan, menurut Lukman, dalam beragama kita tidak berada di dalam ruang hampa. Dalam beragama selalu dilingkupi dengan konteks, dengan ruang dan waktu. Dalam keragaman semua itu tentu melahirkan bentuk pemahaman dan pengamalan keagamaan yang beragam, yang berpotensi melahirkan paham dan amalan keagamaan yang berlebihan, melampaui batas, dan ekstrem: terlalu ke kiri atau terlalu ke kanan. "Mereka yang berada pada posisi ekstrem (ghuluw, tatharruf) harus diajak ke tengah (wasatiyah). Jangan dikucilkan, dikafirkan, atau dimusuhi. Itu bukan watak agama," tegas Lukman. [bp]