Masukan Gus Baha Terhadap Terjemahan Al-Qur’an Edisi Penyempurnaan Kemenag Tahun 2019

Ahmad Bahauddin Nur Salim atau yang akrab dikenal dengan panggilan Gus Baha menjadi salah satu narasumber Webinar “Bedah Terjemahan Al-Qur’an Edisi Penyempurnaan Tahun 2019” yang diselenggarakan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) berkerja sama dengan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Anwar, Rembang, Rabu, (29/07).

Dalam kesempatan ini Gus Baha menyampaikan materi dengan tema “Prinsip dan Kaidah Penerjemahan Al-Qur’an”. Beliau memulai paparannya dengan memberikan apresiasi atas konsistensi Kemenag dalam mentakwil ayat-ayat mutasyabihat seperti ‘wa huwallahu fis-samawati wa fil-ardi’ (al-Anam/6: 3) dan ayat ‘walitusna’a ‘ala ‘aini’ (Taha/20: 39).

“Saya melihat dipenerjemahan sekarang ayat-ayat mutasyabihat sudah diterjemahkan dengan benar seperti ‘wa huwallahu fis-samawati wa fil-ardhi’ (al-Anam/6: 3) dan ayat ‘walitusna’a ‘ala ‘aini’ (Taha/20: 39). Kemenag selalu konsisten dalam mentakwil ayat ‘walitusna’a ‘ala ‘aini’ atau ayat ‘wasbir lihukmi rabbika fainnaka bia’yunina’ (at-Tur/52:  48), papar kiyai yang dikenal sebagai pakar tafsir Al-Qur’an dan fikih tersebut secara live dari Rembang.

Berikutnya, Gus Baha menyampaikan beberapa catatan dan masukan terkait dengan substansi terjemahan Al-Qur’an edisi penyempurnaan tahun 2019. Beberapa masukan tersebut antara lain:

Pertama, ayat-ayat yang secara lahir (zahiruha) membutuhkan takwil harus dijelaskan secara terperinci.

Kedua, ayat-ayat yang pemaknaannya menurut Ahli Sunnah wal-Jamaah sensitif seperti ayat ‘liyagfira lakallahu ma taqaddama min dzanbika wa ma taakhara’ (al-Fath/48: 2). Terjemahan kata zanbika atau dosamu, untuk para Nabi dan orang-orang pilihan yang masuk dalam kategori “min hasanatil-abrar wal-muqarrabin” agar diberi tanda tertentu seperti tanda kutip, petik, atau dialihkan dengan yang lain. Meskipun, pemaknaan seperti ini masih diperdebatkan oleh para ulama.

Ketiga, pembahasan perihal kekhususan Rasulullah Saw yang bisa melihat Allah di dunia dan menjadi konsensus Ahli Sunnah wal-Jamaah. Dalil umum yang dipakai adalah ‘ma kadzabal-fu’adu ma ra'a’ meskipun masyhur dalam hadis sahih riwayat Aisyah yang dimaksud mampu melihat adalah Jibril as. Konsensus di Ahli Sunnah wal-Jamaah bahwa ‘rukyatullah lin nabi fid-dunya tsabatan’. Pendapat ini perlu diperhatikan.   

Keempat, dalam menggunakan sumber penerjemahan, Gus Baha mengusulkan agar tim penyempurnaan Terjemahan Kemenag merujuk pada Tafsir Jalalain. Mengingat, banyaknya kiyai-kiyai yang merujuk pada tafsir ini. Seperti kisah Nabi Sulaiman dengan kudanya.

Kelima, Mengingat banyaknya masyarakat atau mahasiswa di kampus-kampus yang menggunkan terjemahan ini sebagai bahan kajian dan menjadikannya sebagai sumber hukum, sedangkan tidak semua mereka memiliki latar belakang keilmuan Al-Qur’an, menurut Gus Baha, maka ayat-ayat yang secara teks dan makna jelas tetapi dalam kenyataannya ayat tersebut mansukha (atau dihapus secara hukum) diberi keterangan (catatan kaki) agar tidak dianggap sebagai ayat yang muhkamat.

Keenam, ayat-ayat yang menjustifikasi pemahaman mazhab kelompok tertentu dan menafikan pemahaman mazhab tertentu lainnya, seperti ayat ‘au fisqan uhilla ligairillah bih’ (al-An’am/6: 145) atau ayat ‘wala ta’kulu mimma lam yuzkarismullahi ‘alaihi wa innahu lafisq (al-An’am/6: 121). Dalam terjemahan edisi penyempurnaan al-An’am ayat 121 diterjemahkan sebagi berikut, “Janganlah kamu memakan sesuatu dari (daging hewan) yang ketika (disembelih) tidak disebut nama Allah. Perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan”. Terjemahan seperti ini, menurut Gus Baha, mendukung pendapat yang menyatakan bahwa membaca basmalah adalah syarat sah menyembelih hewan. Sementara dalam mazhab Syafiyyah yang populer membaca basmalah tidak menjadi syarat. Penerjemahan ini perlu diberi penjelasan, karena dikhawatirkan akan dijadikan argumentasi untuk menyalahkan orang yang menyembelih tanpa membaca basmalah. Padahal, tasmiyah menurut mayoritas ulama adalah Sunnah, dan tidak menjadi syarat sahnya penyembelihan.

Ketujuh, lafaz-lafaz majaz seharusnya bisa diberi keterangan secara konsisten semuanya.  Seperti ayat, ‘wal-mauta yab'asu humullah’ diberi catatan kaki, sedangkan ayat ‘summun bukmun umyun fahum la yarjiun’ tidak diberi catatan kaki.

“Kalau boleh, saya usul, agar penerjemah membayangkan, bahwa tidak semua pembaca terjemahan ini semuanya pernah mengaji, dan sarana mengaji Al-Qur’annya lewat terjemah, apalagi teman-teman yang nasionalis, sehingga butuh penjelasan detail. Terlebih terjemahan Kemenag ini dianggap sebagai terjemahan yang paling otoritatif dan paling bagus, dan saya setuju, karena memang ditulis oleh tim dan para pakar,” ungkapnya.

Sebelum mengakhiri masukan-masukannya, sekali lagi Gus Baha memberikan apresiasi hasil kerja tim pakar penerjemahan Kemenag yang konsisten menerjemahkan ayat ‘wal-muthallaqatu yatarabbasna bi anfusihinna tsalata quru’ (al-Baqarah/2: 228) yang diterjemahkan dengan tiga kali masa suci atau masa haid. “Ini bagus sekali, karena sesuai dengan pendapat mayoritas mazhab ahli fikih”. Jelasnya mengapresiasi. [bp]   

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved