Menelisik Waqaf dan Ibtida’ dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia

Kajian waqaf dan ibtida’ pada Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (MSI) untuk pertama kalinya dilakukan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) secara virtual. Narasumber berasal dari LPMQ, yaitu Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, Dr. Zaenal Arifin Madzkur, MA dan Fahrur Rozi, MA, dengan Deni Hudaeny AA, Lc, MA sebagai moderator. Peserta yang bergabung dalam kegiatan ini sebagian besar berasal dari para penggiat Al-Qur’an seperti para pengajar Al-Qur’an, peneliti, dosen dan mahasiswa Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Membuka kegiatan ini, Dr. Muchlis M. Hanafi, MA (Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an) menuturkan bahwa kajian tetang waqaf dan Ibtida’ ini adalah kajian yang penting. Umat Islam harus peduli dengan ilmu ini. Ia menyayangkan ada seorang ustadz yang membacakan ayat kepada jama’ah yang jumlahnya cukup banyak, tetapi bacaannya jauh dari yang diharapkan, baik dari sisi tajwid maupun waqaf dan ibtida’nya. Padahal Rasulullah Saw sudah mencontohkan bacaan Al-Qur’an dengan sangat baik, termasuk dalam hal waqaf dan ibtida’. Imam Ali ra menjelaskan bahwa tartil adalah membaguskan huruf dan mengetahui waqaf dalam bacaan. Sebab itu, Imam Ali ra menyebut hukum mempelajari waqaf dan ibtida’ adalah wajib.

“Persoalan tentang tanda waqaf pada mushaf-mushaf Al-Qur’an di dunia memang menyita perhatian. Pasalnya, mushaf-mushaf Al-Qur’an yang beredar di dunia saat ini memiliki perbedaan, baik dari tanda-tanda yang digunakan, maupun waqaf dan jumlahnya”, jelas Kepala LPMQ. Ia menuturkan bahwa persoalan ini adalah ijtihadi atau bersifat terbuka secara ilmiah. Artinya, setiap waqaf atau tanda waqaf yang digunakan dalam mushaf tertentu, pasti sudah didahului dengan kajian yang mendalam sebelumnya. Sesungguhnya kajian ini memang berlawanan dengan semangat awal pada masa Rasulullah Saw yang menghendaki mushaf Al-Qur’an kosong dari coretan atau tulisan apapun selain ayat Al-Qur’an, atau yang dikenal dengan istilah tajridul-Qur’an. Tetapi karena pada masa selanjutnya umat Islam mengalami kesusahan dalam menentukan waqaf dan Ibtida’, maka para ulama membuat standar-standar waqaf tersebut.

Zaenal Arifin selanjutnya menyampaikan bahwa persoalan waqaf dan ibtida’ dalam MSI termasuk dalam ketetapan Musyawarah Kerja (Muker) Ulama Al-Qur’an Indonesia tahun 1983 yang berlangsung selama 9 tahun (1974-1983). Jadi kalau ditanya siapa yang menetapkan tanda-tanda waqaf dalam MSI, jawabnya adalah para ulama Al-Qur’an Indonesia dengan mengacu pada sumber-sumber ulama otoritatif dalam ilmu Waqaf dan Ibtida’ seperti as-Sajawandi dan al-Asymuni. Satu hal yang perlu diketahui adalah bahwa selama kurun waktu yang cukup lama, kira-kira dari tahun 1984-2016, MSI tidak mencantumkan ta’rif yang jelas. Untuk itu, LPMQ melakukan kajian secara khusus guna mempertegas afiliasi tanda waqaf yang tercantum dalam MSI. Kajian ini juga diharapkan dapat memperbaiki letak tanda waqaf yang dianggap kurang tepat.

Secara teknis, Zaenal menuturkan bahwa kajian waqaf dan ibtida’ dalam MSI ini dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, menginventarisir tanda waqaf dalam MSI; kedua, membandingkannya dengan hasil ketetapan Muker 1983; ketiga, membandingkannya dengan kitab-kitab induk seperti ‘Ilal al-Wuquf as-Sajawandi dan al-Muqshid al-Anshari; keempat, melakukan kajian ilmiah terhadap hasil inventarisasi; dan kelima, penetapan tanda waqaf baru bila diperlukan. Kajian ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari para pentashih mushaf Al-Qur’an yang memiliki kompetensi dalam bidang waqaf dan Ibtida’.

Melengkapi kajian ini, Fahrur Rozi menyampaikan bahwa pada intinya setiap waqaf dan ibtida’ yang terdapat dalam MSI sudah sesuai dengan kitab-kitab induk. Kalau ada yang tidak sesuai dengan as-Sajawandi, bisa dipastikan ada kesesuaian dengan kitab lain seperti al-Muqtafa, Manarul-Huda dan al-Muqshid. Tetapi secara keseluruhan, MSI memang banyak kesesuaian dengan apa yang sudah ditetapkan as-Sajawandi. “Penyempurnaan tanda waqaf yang terjadi pada MSI adalah dengan tetap menjaga tempat waqafnya dan menyederhanakan tanda-tandanya, seperti tanda ق, قف, dan ط disederhanakan menjadi قلى,” ujar Kepala Seksi Pembinaan dan Pengawasan ini.

Rozi selanjutnya menegaskan bahwa persoalan tanda waqaf dalam mushaf Al-Qur’an adalah persoalan ijtihadi yang setiap negara pasti berbeda-beda kecenderungannya. Ia menyebut beberapa mushaf dunia yang memiliki perbedaan, seperti mushaf maghribi, mushaf habthi, mushaf Bombay, mushaf Turki, mushaf Saudi dan mushaf Indonesia. Dalam hitungannya, jumlah tanda waqaf pada mushaf dunia berbeda-beda. Tidak tanggung-tanggung, selisihnya dalam jumlah ribuan. Di akhir bagian ia kembali menegaskan bahwa diskusi tentang tanda waqaf dalam mushaf Al-Qur’an masih terbuka lebar karena bersifat ijtihadi. “Kita tidak boleh menganggap tanda waqaf yang satu lebih baik dari tanda waqaf yang lain, karena boleh jadi tanda waqaf yang dianggap tidak baik itu akan kita jumpai dalilnya pada kitab tertentu,” demikian simpul Rozi. (AZ)

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved