Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ), terus memperkuat inklusivitas bagi tunanetra dengan menyusun buku Panduan Tajwid Al-Qur’an Braille. Kegiatan ini menjadi kelanjutan dari penyusunan IQRA’NA, panduan membaca Al-Qur’an Braille yang telah dirilis pada tahun 2023.
Kepala LPMQ, Abdul Aziz Sidqi, menjelaskan bahwa penyusunan panduan tajwid ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi tunanetra dalam mempelajari Al-Qur’an secara lebih mendalam dan sesuai dengan kaidah ilmu tajwid.
“Ketika membaca Al-Qur’an, ilmu tajwid menjadi elemen penting agar bacaan menjadi benar dan sesuai. Kaum tunanetra juga membutuhkan akses untuk mempelajari tajwid dalam format Braille, sehingga mereka bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar,” ujar Abdul Aziz dalam sambutannya, Rabu (20/11/2024) di Jakarta.
Prof. Dr. Arskal Salim GP, M.Ag Sekretaris Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI, yang hadir dalam kegiatan tersebut menyampaikan apresiasi terhadap upaya yang dilakukan oleh LPMQ. Menurutnya, program ini merupakan langkah penting dalam memberikan kemudahan akses bagi kaum tunanetra.
“Saya mengapresiasi LPMQ yang terus memberikan perhatian penting melalui program-program mencerahkan seperti ini. Panduan tajwid Al-Qur’an Braille akan sangat membantu kaum tunanetra dalam membaca Al-Qur’an dengan baik, sesuai dengan ilmu tajwid, termasuk makharijul huruf, panjang pendeknya, dan aturan lainnya,” ujar Prof. Arskal.
“LPMQ tidak hanya menyiapkan Al-Qur’an Braille, tetapi melengkapi juga dengan IQRA’NA dan panduan seperti ini. Ini adalah layanan yang benar-benar menyeluruh, dari hulu ke hilir,” kata Prof. Arskal melanjutkan.
Ia juga menekankan bahwa penyusunan panduan ini mencerminkan perhatian pemerintah dalam membangun sumber daya manusia yang inklusif. “Ini adalah salah satu bukti bahwa pemerintah serius dalam memastikan hak dasar dan kewajiban yang setara bagi seluruh warga negara, termasuk penyandang disabilitas tunanetra,” tambahnya.
Yang menarik, Prof. Arskal juga menyoroti sejarah panjang upaya menciptakan aksesibilitas Al-Qur’an Braille di Indonesia. Ia menyebut bahwa langkah awal dalam merintis Al-Qur’an Braille sudah dilakukan sejak 1974, meskipun pada saat itu teknologi masih sangat terbatas.
“Kalau kita lihat ke belakang, upaya ini tidaklah mudah. Dengan segala keterbatasannya, sudah luar biasa bagaimana para perintis pada masa itu memikirkan cara agar kaum tunanetra dapat belajar Al-Qur’an. Hari ini, dengan teknologi yang lebih canggih, kita harus memastikan upaya ini terus berlanjut,” tegasnya.
Selain menyusun panduan tajwid, Prof. Arskal juga menekankan pentingnya mendata jumlah tunanetra di Indonesia yang masih buta huruf Al-Qur’an. Hal ini, menurutnya, akan menjadi dasar untuk memperluas jangkauan program ke seluruh pelosok tanah air.
“Kita perlu memiliki data yang akurat tentang berapa persen tunanetra yang belum bisa membaca Al-Qur’an dan berapa yang sudah mampu. Dengan begitu, kita bisa menjangkau mereka yang ada di luar Pulau Jawa, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa data tersebut akan membantu LPMQ dan pemerintah untuk membuat program yang lebih terarah dan berkelanjutan. “Kita ingin memastikan bahwa target program ini terus berkembang dari waktu ke waktu, sekaligus untuk membangun ekosistem Al-Qur’an Braille di Indonesia,” tandasnya.