Penjelasan tersebut disampaikan Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam acara bedah buku Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama yang diselenggarakan secara daring oleh Perpustakaan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) pada hari Senin, (15/11). Hadir juga sebagai pembicara pada acara ini, Lukman Hakim Saifudin (Menteri Agama Kabinet Kerja 2014-2019), dengan moderator, Farid F. Saenong.

Pada kesempatan tersebut, Quraish Shihab menjelaskan bahwa wasathiyyah tidak bisa dimaknai secara matematis, karena kata tersebut bukan sekadar dimaknai sebagai pertengahan, tetapi juga sesuatu yang terbaik. Di dalamnya terkandung pengertian al-‘adl, menempatkan sesuatu pada tempatnya. Demikian juga dengan penerapannya. Penerapan wasathiyyah pada satu wilayah tidak bisa disamakan dengan penerapan wasathiyyah pada wilayah lain.

“Penerapan wasathiyyah pada satu wilayah tidak bisa disamakan pada tempat lain. Penerapan wasathiyyah di Indonesia, misalnya, tidak bisa disamakan degan penerapan wasathiyyah di Amerika atau Eropa,” jelas Quraish Shihab.

Karena itu, penting sekali bagi seseorang memahami maqasidus-syariah suatu ajaran. Karena bisa jadi, sesuatu yang ma’ruf pada satu tempat belum tentu ma’ruf di tempat lain. Dan wasathiyyah itu harus ada dalam semua dimensi Islam, aqidah, syariah, akhlak, dunia, dan akhirat. Karena pada semua hal itu yang diminta adalah yang terbaik.

Sementara itu, Lukman Hakim menambahkan, bahwa wasathiyyah merupakan sesuatu kebutuhan dan keniscayaan dalam beragama. Buku karya Prof. Quraish Shihab, menurutnya merupakan buku terbaik tentang moderasi dari perspektif Islam. Dalam menjelaskan wasathiyyah, Prof. M. Quraish Shihab tidak hanya menggunakan pendekatan Al-Qur’an dan bahasa, tetapi juga dari perspektif penciptaan alam semesta. Selain itu, bahasa yang digunakan adalah bahasa popular sehingga penjelasannya mudah dipahami. [Hery]