Mushaf kedua koleksi Museum Negeri NTB. Manuskrip Al-Qur’an ini memiliki Nomor Registrasi 07. 365. Tidak terdapat kolofon pada mushaf ini, sehingga tidak ada informasi yang menjelaskan tentang asal-usul naskah, pemilik dan penyalin, serta tahun penyalinannya. Mushaf ini ditulis di atas kertas Eropa menggunakan tinta hitam untuk teks ayat dan tinta merah untuk penandaan ayat. Mushaf ini sudah tidak utuh lagi, karena surah al-Fatihah dan lima ayat awal Surah al-Baqarah pada bagian depan sudah tidak ada. Halaman dimulai dengan ayat 5 Surah al-Baqarah. Namun yang patut disayangkan, penyusunan halaman yang ada, justru menempatkan halaman awal ini pada bagian halaman ketiga, sedangkan halaman pertama diletakkan surah al-Baqarah ayat 246. Pada bagian akhir, tertulis surah an-Nasr, namun dengan penyusunan halaman yang juga terbalik dan nyaris tidak terlihat lagi karena tertutup dengan kertas tissue ‘pelindung’.

Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki sejarah Islam yang cukup panjang. Salah satu jejak masuknya Islam di tanah ini bisa dilihat dari koleski mushaf kuno yang berada di beberapa lokasi, diantaranya di Museum Negeri Kota Mataram. Berbeda dengan mushaf koleksi Kesultanan Bima yang dikenal cukup indah, baik tulisan maupun iluminasinya, mushaf kuno koleksi Museum Negeri Mataram tidak demikian. Tulisan khat pada mushaf kuno koleksi museum ini terlihat kurang rapi, demikian juga iluminasinya. Melihat karakteristik tulisan dan iluminasinya, mushaf-mushaf ini diduga ditulis oleh masyarakat biasa dengan tujuan untuk dibaca, dan bukan untuk cinderamata sebagaimana mushaf-mushaf koleksi kerajaan atau kesultanan. Berikut deskripsi mushaf kuno koleksi Museum Negri Mataram.

Salah satu penerbit generasi awal yang mencetak mushaf Al-Qur’an di Indonesia adalah Abdullah bin Afif Cirebon. Di antara dua penerbit generasi pertama lainnya, Salim Nabhan Surabaya (berdiri tahun 1908) dan Mat’baah Islamiyah Bukit Tinggi (berdiri awal abad ke-20), penerbit Abdullah bin ‘Afif nampak lebih popular dan bertahan relatif lama. Popularitas ini setidaknya terlihat dari persebaran mushaf yang massif dan bisa menjangkau sejumlah wilayah di Indonesia. Cetakan mushaf Al-Qur’an Abdullah bin ‘Afif tahun 1950 an bahkan terbilang banyak dan mudah dijumpai di rumah ibadah tua, baik masjid maupun mushalla. Penting karena itu mengetahui lebih jauh sepak terjang penerbit ini dan kiprahnya dalam mencetak mushaf sebagai bagian dari mata rantai sejarah mushaf Al-Qur’an di Indonesia.

Sebuah terjemahan, termasuk terjemahan Al-Qur’an, tidak sepenuhnya mewakili makna teks sumber, akan tetapi lebih merupakan pemahaman atau pilihan terhadap sebagian maknanya yang dituangkan ke dalam bahasa sasaran. Tidak heran jika muncul berbagai problem dalam alih bahasa ini, tak terkecuali pada terjemahan Al-Qur’an Kemenag edisi 2019. Di antara problem tersebut adalah;

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu bahasa ke bahasa lain. Dalam definisi tersebut setidaknya ada dua unsur utama yang harus diperhatikan dalam menerjemah yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dalam konteks penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia yang berposisi sebagai bahasa sumber adalah bahasa Arab, sedangkan bahasa Indonesia menduduki posisi sebagai bahasa sasaran.

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved