Ulama-ulama Nusantara telah melahirkan karya-karya tafsir Al-Quran sebagai jawaban dari dialog teks dan realitas lingkungannya pada masa tertentu. Di antara karya muslim di Nusantara tersebut adalah tafsir Jā mi‘ al-Bayān min Khulāṣati Suwar Al-Qur’ān karya Syekh Muhammad bin Sulaiman bin Zakarya.

“Al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut yang lain, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak daripada apa yang kita lihat.” Ilustrasi ini menggambarkan: Al-Qur’an sebagai sebuah teks telah memungkinkan banyak orang untuk melihat makna yang berbeda-beda di dalamnya. Dari berbagai metodologi yang disuguhkan, para mufasir kerap mempunyai corak sendiri yang menarik untuk ditelusuri. Dari mulai menafsirkan kata perkata dalam setiap ayat sampai menghubungkannya dengan fiqh, politik, ekonomi, tasawuf, sastra, kalam, dan ilmu-ilmu lainnya.

Nagari Sungayang Tanah Datar dikenal memiliki tradisi ilmiah yang kuat. Hal demikian—sejak kaum muslimin pertama datang ke Nusantara—telah mendarah daging dan terasa denyut nadinya di kehidupan masyarakat Minangkabau. Sehingga wajar jika kemudian sering muncul polemik ilmiah untuk menjawab persoalan-persoalan realitas pada zamannya.

Mushaf Al-Qur’an yang satu ini tergolong unik. Tidak banyak yang sama dengannya. Sejauh penelitian yang dilakukan tim LPMQ, dari ratusan naskah mushaf kuno, mushaf ini satu dari sedikit mushaf yang memiliki keunikan. Secara fisik mungkin terlihat sama. Hal yang membedakan dengan mushaf lain adalah qiraat yang digunakan dalam penyalinannya. Mayoritas mushaf kuno yang ada di Nusantara disalin dengan qiraat riwayat Ḥafṣ dari Imam ‘Āṣim. Mushaf ini berbeda. Ia disalin dengan riwayat Qālun dari Imam Nāfi’.

Kedatangan Syekh Ahmad Surkati (1874-1943) ke Hindia Belanda telah menarik minat umat Islam untuk belajar kepadanya. Salah satunya adalah Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, selanjutnya ditulis Ash Shiddieqy.

Ia lahir di Lhokseumawe pada 10 Maret 1904 dan meninggal di Jakarta pada 9 Desember 1975. Ayahnya Teungku Qadhi Chik Maharaja Mangkubumi Husien ibn Muhammad Su’ud. Ash Shiddieqy dalam satu sumber dikatakan sebagai keturunan ke-37 dari Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq (573-634), sahabat Rasulullah Muhammad Saw. Ash Shiddieqy pertama belajar agama kepada ayahnya dan selama 20 tahun melakukan rihlah ilmiah ke berbagai pesantren dan perguruan pengajian. Guru utama bahasa Arabnya adalah Syekh Muhammad ibn Salim Al-Kalali. Pada 1926, Ash Shiddieqy berangkat ke Surabaya, melanjutkan studinya di Madrasah Al-Irsyad, berguru kepada Syekh Ahmad Surkati. Ia sempat pula menuntut ilmu ke Timur Tengah sebelum akhirnya pulang ke tanah air.

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved