Peraturan Menteri Agama RI Nomor 1 Tahun 1957  berisi tentang Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an  (LPMQ) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI sebagai pemegang otoritas dalam pengawasan terhadap penerbitan dan pemasukan Al-Qur’an di Indonesia. LPMQ berwenang  memastikan semua Al-Qur’an yang ada di Indonesia bebas dari kesalahan, dengan adanya aturan setiap Al-Qur’an yang terbit disertai tanda tashih. Tanda tashih ini merupakan bukti bahwa Al-Qur’an tersebut telah dikoreksi oleh pentashih, sehingga memenuhi syarat kelayakan terbit.

Era media sosial  membawa perubahan dalam semua aspek kehidupan manusia. Salah satunya dalam kehidupan beragama. Kehidupan beragama yang semula berpola tradisional berubah menjadi modern yang berbasis internet.  Al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam semula hadir dalam bentuk mushaf, kini hadir pula dalam bentuk Al-Qur’an digital.

Pada tanggal 28 September 2018 Harian Republika cetak dan daring menulis pemberitaan hasil Mukernas Ulama Al-Qur’an yang dihelat di Bogor pada tanggal 25-27 September 2018 dengan judul, ‘Ulama Sepakati Perubahan 186 kata dalam Al-Qur’an.’ Beberapa saat setelah berita itu menyebar para pembaca berita dan netizen pun gaduh dengan judul yang dinilai provokatif.

Melihat kegaduhan di dunia maya, Harian Republika versi daring kemudian meralat judul pemberitaannya dengan menambahkan kata ‘penulisan’ sehingga berubah menjadi, ‘Ulama Sepakati Perubahan Penulisan 186 kata dalam Al-Qur’an.’ Bahkan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) pun juga mengeluarkan Siaran Pers dengan Nomor: B-1774/LPMQ.01/HM.02/10/2018 tentang Perubahan Penulisan (Rasm) 186 Kata dalam Mushaf Al-Qur’an Indonesia.

Munculnya kegaduhan tersebut hemat penulis dipicu karena dua problem sangat mendasar; minimnya pengetahuan masyarakat tentang sejarah Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dan masih terbatasnya pembahasan tentang ilmu rasm usmani di Indonesia. Untuk itu tulisan ini diharapakan dapat memberikan pengantar yang lebih objektif dalam mendudukkan Al-Qur’an sebagai mushaf dan rasm usmani yang menjadi landasan penulisannya di dunia Islam.

Mushaf Standar Braille adalah salah satu varian Mushaf Standar Indonesia yang ditulis dengan simbol Braille dan telah dibakukan serta diperuntukkan bagi para tunanetra atau orang-orang yang mempunyai gangguan penglihatan (visually impaired people). Simbol/kode  Braille terbentuk dari 6 titik timbul (six raised dots) yang tersusun dalam dua kolom berbentuk empat persegi panjang (rectangle) dan masing-masing kolom berisi 3 titik  seperti susunan dalam kartu domino.

 

Susunan titik pada simbol Braille.

 

Kehadiran Mushaf Standar Braille tidak terlepas dari sejarah penyalinan mushaf Al-Qur’an Braille di Indonesia yang perkembangannya melewati beberapa fase, yaitu fase duplikasi, adaptasi dan standarisasi. Fase duplikasi dimulai setelah Supardi Abdushomad (w. 1975), seorang tunanetra asal Yogyakarta berhasil mengungkap sistem tulisan yang digunakan dalam Al-Qur’an Braille Yordan yang diterimanya dari seorang pegawai Departemen Sosial pada tahun 1963. Mushaf Braille pertama di dunia ini diperkirakan sudah ada di Indonesia sejak tahun 1954 ketika Lembaga Penerbitan dan Perpustakaan Braille Indonesia (LPPBI) yang bernaung di bawah Departemen Sosial dan berkedudukan di Bandung menerima kiriman Al-Qur’an Braille dari Unesco. Sejak saat itulah, Supardi bersama dengan para koleganya di bawah Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) mulai mengembangakan mushaf Braille dengan mengacu pada sistem yang digunakan dalam Mushaf Braille Yordan.   

Pada aspek rasm, Mushaf Standar Usmani mengacu pada hasil rumusan rasm Usmani pada Muker I tahun 1974. Rumusan pembahasan rasm Usmani meru­pa­kan hasil Rapat Kerja Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an tahun 1972. Hasil rapat itu kemu­dian dibahas dalam forum yang lebih tinggi, yakni Muker Ulama Al-Qur’an Nasional I tahun 1974. Saat itu hampir semua ulama dan kyai yang hadir menyepakati keharusan mushaf Al-Qur’an ditulis dengan rasm Usmani, kecuali dalam keadaan darurat. Dari aspek penulisan (rasm), mushaf standar Usmani mengambil bahan baku (model) dari Al-Qur’an terbitan Departe­men Agama tahun 1960 (Mushaf Al-Qur’an Bombay) yang sekaligus menjadi pedoman tanda baca. Mushaf ini ditelaah akurasi rasm Usmani-nya berdasarkan rumusan as-Suyūṭiy (w. 911 H) dalam al-Itqān fī‘Ulūmil-Qur'ān.

 

Mushaf Standar Bahriyah.

Bila membicarakan Mushaf Al-Qur'an Standar Indonesia, istilah "Mushaf Bahriyah" akan sering disebut, karena termasuk salah satu dari tiga 'jenis' mushaf yang distandarkan di Indonesia. Mushaf Al-Qur’an “Bahriyah” berpola 'ayat pojok', yaitu setiap halaman, di bagian sudut/pojok bawah-kiri, berakhir dengan penghabisan ayat. Atau dengan kata lain, penulisan setiap ayat tidak bersambung ke halaman berikutnya.

Mushaf dengan model seperti ini banyak digunakan oleh para penghafal Al-Qur'an (ḥāfiẓ). Teks ayat yang tidak bersambung ke halaman berikutnya sangat memudahkan para penghafal Al-Qur’an untuk muraja’ah (mengulang baca). Karena ciri dan fungsinya itu, mushaf jenis ini, selain disebut “Mushaf/Ayat Pojok”, sering pula disebut “Mushaf/Ayat Sudut”, “Al-Qur’ān lil-Ḥuffāẓ”, atau di Jawa, karena dahulu dicetak di kota Kudus, disebut pula “Qur’an Kudus”.

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved