Di Pulau Lingga, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau, terdapat 10 mushaf kuno. Lima mushaf telah diuraikan oleh Mustofa (lihat Bagian 1). Berikut adalah deskripsi lima mushaf lainnya.

Selain di Pulau Penyengat, manuskrip Al-Qur’an juga terdapat di Pulau Lingga. Di pulau ini jumlah manuskrip Al-Qur’an terbilang cukup banyak, terutama jika dibandingkan yang terdapat di Pulau Penyengat. Posisi geografis yang cukup jauh dari pusat kota dan pemerintahan Kepulauan Riau, membuat lalu lintas kunjungan ke Pulau Lingga tidak sebanyak ke Pulau Penyengat, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan pulau ini, seperti sejarah kesultanan, bekas reruntuhan bangunan, masjid, benda-benda peninggalan kesultanan lainnya, hingga manuskrip Al-Qur’annya, kurang dikenal luas oleh masyarakat sebagaimana Pulau Penyengat.

Ada pandangan umum yang berkembang di masyarakat yang menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan ayat Al-Qur’an adalah 6.666 ayat. Dalam perbincangan di beberapa mailing list di internat, muncul pro dan kontra terkait angka ini. Beberapa kalangan mencoba bersikap objektif dengan merujuk riwayat dan beberapa kitab ulumul-Qur’an yang membahas ‘addul ayi (hitungan ayat), namun beberapa yang lain bersikap emosional dan bahkan menuduh bahwa jumlah hitungan di atas dihasilkan oleh “ulama palsu”. Bahkan yang tidak mau “ambil pusing” mengambil jalan pintas dan ‘prematur’, bahwa yang paling benar adalah 6.236 ayat sesuai dengan jumlah ayat yang dicetak oleh Saudi Arabia (Mushaf Madinah). Akibatnya, diskusi tentang jumlah ayat dalam 30 juz Al-Qur’an menjadi ajang debat kusir yang tidak jelas arahnya.

Sekitar 15 km ke arah timur kota Cirebon berdiri Pondok Pesantren Gedongan yang dirintis pada awal pertengahan abad ke-18 oleh KH M. Said, seorang kiai besar di Jawa Barat. Sejak didirikannya hingga tahun 1970 pesantren ini adalah pesantren kitab salaf. KH Abu Bakar Shofwan al-Hafiz memperistri cucu KH M. Said, Nyai Hj. Zaenab binti KH Siroj, dan kedatangannya ke P.P. Gedongan membawa warna baru, yaitu dengan didirikannya Madrasah al-Huffazh. Sebagai pengasuh Pesantren Tahfiz Al-Qur'an pertama di Cirebon, demikian kesaksian KH Said Aqil Siraj, Kiai Abu merupakan tokoh Al-Qur'an yang patut diteladani oleh generasi Al-Qur'an sekarang. Kesederhanaan dan rendah hati selalu tecermin dalam kehidupannya sehari-hari, baik dalam berkhidmat mengajar santri ataupun dalam melayani para tamu pesantren.

KH. Abdul Manan Syukur adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, lahir dari pasangan KH. Abdul Syukur dan Nyai Hj. Mas‘adah pada tanggal 24 April 1925 di Desa Kraden, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Dia satu-satunya dari tujuh bersaudara yang hafal Al-Qur'an. Dari jalur ibunya, Kiai Manan generasi ke-9 dari Ki Ageng Kasan Besari, pendiri pesantren di Tegalsari, Ponorogo. Konon, pesantren inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya pesantren-pesantren di Pulau Jawa. Dari jalur ayahnya, Kiai Manan generasi ke-11 dari Sunan Bayat, salah satu tokoh penyebar Islam pada masa kerajaan Demak (abad ke-16). Kiai Manan menikah dengan Umi Hasanah di usia 29 tahun, pada Desember 1954. Pernikahan itu dikaruniai lima anak yang hafal Al-Qur'an, yaitu Hj. Maftuhah, Ummu Zahrah, H.M. Choirul Amin, Musyarafah, dan Nur Lailiyah, M.Si.

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved