Salah satu penerbit generasi awal yang mencetak mushaf Al-Qur’an di Indonesia adalah Abdullah bin Afif Cirebon. Di antara dua penerbit generasi pertama lainnya, Salim Nabhan Surabaya (berdiri tahun 1908) dan Mat’baah Islamiyah Bukit Tinggi (berdiri awal abad ke-20), penerbit Abdullah bin ‘Afif nampak lebih popular dan bertahan relatif lama. Popularitas ini setidaknya terlihat dari persebaran mushaf yang massif dan bisa menjangkau sejumlah wilayah di Indonesia. Cetakan mushaf Al-Qur’an Abdullah bin ‘Afif tahun 1950 an bahkan terbilang banyak dan mudah dijumpai di rumah ibadah tua, baik masjid maupun mushalla. Penting karena itu mengetahui lebih jauh sepak terjang penerbit ini dan kiprahnya dalam mencetak mushaf sebagai bagian dari mata rantai sejarah mushaf Al-Qur’an di Indonesia.

Sebuah terjemahan, termasuk terjemahan Al-Qur’an, tidak sepenuhnya mewakili makna teks sumber, akan tetapi lebih merupakan pemahaman atau pilihan terhadap sebagian maknanya yang dituangkan ke dalam bahasa sasaran. Tidak heran jika muncul berbagai problem dalam alih bahasa ini, tak terkecuali pada terjemahan Al-Qur’an Kemenag edisi 2019. Di antara problem tersebut adalah;

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata terjemah berarti menyalin atau memindahkan suatu bahasa ke bahasa lain. Dalam definisi tersebut setidaknya ada dua unsur utama yang harus diperhatikan dalam menerjemah yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Dalam konteks penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia yang berposisi sebagai bahasa sumber adalah bahasa Arab, sedangkan bahasa Indonesia menduduki posisi sebagai bahasa sasaran.

Meski memakai judul khat mushaf, tetapi pembahasan dalam buku ini tidak hanya tentang khat. Setiap mushaf diuraikan deskripsi kodikologinya, tanda baca, jenis kertas, jenis khat, tinta, dan asal muasal kenapa manuskrip tersebut bisa sampai di lokasi tersebut. Disertakan juga hasil analisis uji karbon (radiocarbon dating) untuk beberapa naskah. Hasil penanggalannya dibandingkan dengan sejarah mushaf yang sudah masyhur di kalangan sejarawan mushaf Al-Qur’an. Menariknya, objek kajiannya mushaf Al-Qur’an dari generasi Islam masa lalu hingga masa kini, dan meliputi semua ‘wilayah’ Islam. Melalui rujukan yang ia gunakan, pembaca mendapatkan gambaran keagungan kebudayaan mushaf Islam masa lalu. Pembaca diajak menikmati mushaf-mushaf periode Khilafah Rasyidin mulai dari khatnya yang terasa asing bagi muslim kiwari dan ayat yang tanpa tanda titik dan tanda syakl. Pembaca juga diajak menikmati mushaf-mushaf menawan dari masa kejayaan Baghdad, menyebrang ke Mesir dari masa Fatimiyyah, Ayyubiyyah, Mamluk, Persia, Asia Tengah, Turki Usmani, India, hingga Asia Tenggara (Indonesia) dan Cina.

Gelombang pembaharuan yang dikumandangkan oleh Syekh Muhammad Abduh dan muridnya, Syekh Muhammad Rasyid Ridha, melalui risalah-risalah Tafsir al-Manar telah merambah ke berbagai belahan dunia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai faktor latar belakang sejarah, terutama sentimen emosional “Persatuan Islam” setelah kekalahan Turki Utsmani pada Perang Dunia I. Sentimen ini dibutuhkan sejalan dengan gelora nasionalisme yang bertentangan dengan gelora Persatuan Islam yang mengusung jargon “Kembali kepada Al-Qur’an dan hadis”. Sentimen Persatuan Islam tersebut sangat berpengaruh besar bagi ulama-ulama dan tokoh-tokoh bangsa dalam menggalang kekuatan untuk merebut kemerdekaan dari kolonialisme Pemerintah Hindia Belanda. Sehingga Ahmad Hassan dalam kapasitasnya sangat menekankan pentingnya posisi Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber pemikiran agama Islam.

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved