Kata luqmān (Arab: لقمان ‘luqmān’) disebut sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an. Keduanya terdapat dalam surah ke-31 yang dinamakan dengan kata ini juga pada ayat 12 dan 13. Kata luqmān terambil dari nama seorang alim dan ahli hikmah (bijaksana). Dari tiga kitab suci agama samawi, nama Luqman hanya disebutkan dalam Al-Qur’an, tidak terdapat dalam Taurat dan Injil, demikian dijelaskan Ra’ūf Abū Sa‘dah.

Kata luqmān merupakan isim ‘alam yang berasal dari bahasa non-Arab (‘ajam). Berbeda dengan kebanyakan ulama, ar-Rāgib al-Aṣfahāniy lebih cenderung berpendapat bahwa kata luqmān berasal dari bahasa Arab. Menurutnya, kata luqmān bisa jadi terbentuk dari akar kata la-qi-ma (لقم) yang bermakna makan dengan cepat, menelan atau memberikan makanan. Akan tetapi, As-Samin al-Halabiy dan al-Fairuzabadiy lebih menguatkan pendapat pertama bahwa kata luqmān adalah isim ‘alam yang ‘ajam.

Mushaf cetakan batu (litografi) ini terdapat di Masjid Syekh Muhammad Syaid Padang Baru, Nagari Ganggo Hilia, Kec. Bonjol, Kab. Pasaman, Sumatera Barat. Tidak diperoleh data mengenai asal usul mushaf ini, apakah hasil cetak dari Palembang, Singapura, atau daerah lainnya. Bagian kolofon yang biasa terdapat di bagian belakang naskah sudah tidak ditemukan. Diperkirakan mushaf ini dicetak sekitar pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Kurun waktu ini adalah masa di mana pencetakan Al-Qur’an menggunakan teknologi litograf atau cetak batu sedang berkembang di Nusantara, terutama di Palembang dan Kampoeng Gelam, Singapura. Di samping itu, tradisi penyalinan menggunakan goresan tangan masih tetap berlanjut. Kedua teknologi penyalinan Al-Qur’an ini mulai berakhir di awal abad ke-20 dengan masuknya teknologi mesin cetak modern ke Nusantara, di antaranya di Bukittinggi (Sumatra Barat), Cirebon (Jawa Barat), dan Surabaya (Jawa Timur).

Masa berikutnya yaitu Imarat Yanju (The Injuids), akhir masa Ilkhanat dan awal masa Jalā’ir. Keemiran ini nisbah kepada Syakh Jamaluddin Abi Ishāq bin Muhammad Syah Yanju (w. 758 H/1356 M). Salah satu mushaf yang sampai ke kita dari era ini disalin oleh Yahya bin Nāsir al-Jamālī al-Ṣūfī dengan illuminator Hamzah bin Mahmud al-‘Alawi. Ia merupakan murid dari Mubaraksyah murid dari Yaqut.

Berdasarkan tinggalan yang ada, di Iran, belum ditemukan keberadaan sebuah mushaf yang berasal dari masa Khalifah Rashidah (khususnya masa Usman bin Affān). Yang jelas, berdasar catatan sejarah, Ḥajjaj bin Yūsuf al-Tsaqafi,[1] pernah memerintahkan untuk mengirimkan sejumlah mushaf yang selesai ditulis di Kufah ke beberapa negri seperti Mesir, dan beberapa kota di Iran.

Samud (ṡamūd) merupakan nama kaum Nabi Saleh. Kaum Samud merupakan kabilah yang tinggal di sebuah daerah bernama al-Ḥijr yang terletak di utara jazirah Arab antara Madinah dan Syam ke arah Wādī al-Qurā. Oleh karena itu, kaum Ṡamūd juga disebut dengan aṣḥāb al-ḥijr (al-Ḥijr/15: 80). Tempat tinggal kaum Ṡamūd itu sekarang dikenal dengan nama Madā’in Ṣāliḥ. Mereka adalah penerus peradaban kaum ‘Ād dan masih memiliki tali persaudaraan. Bisa jadi, karena itulah penyebutan nama kedua kaum ini sering beriringan dalam Al-Qur’an.

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved