Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan focus group discussion (FGD) dengan tema Pengembangan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dalam aspek Dhabt dan Waqf-Ibtida, menghadirkan narasumber Prof. Dr. KH. Said Aqil Husin al-Munawwar, MA, Guru Besar Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Dr. H. Husnul Hakim, MA, dosen Institut PTIQ Jakarta.
Prof. Aqil Al-Munawwar banyak berbicara tentang wacana ulumul-Qur’an yang mengalami banyak perkembangan. Dalam prespektif sejarah, bukti fisiknya dapat dirunut mulai dari era al-Zarkasyi yang sudah mencapai 40 cabang keilmuan dan dilanjutkan pada periode al-Suyuthi yang telah berkembang menjadi 80 cabang keilmuan. Dari masing-masing cabang tersebut kalau dikembangkan lagi tentu akan menghabiskan waktu yang cukup panjang.
Lebih lanjut, Prof. Aqil juga menegaskan, saat ditanyakan terkait keberatan beberapa kalangan dengan pola Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) dalam pengembangan dhabt dan waqf-ibtida dengan tetap mempertimbangkan kemudahan dan keterbacaan bagi masyarakat umum (al-taisir al-‘ammah). Menurut guru besar hadis dan ushul fiqh ini, ‘Kebijakan harus bertolak pada kemaslahatan umum, bukan atas pertimbangan kelompok tertentu (al-ibrah bil katsrah la bil-qillah). Kasus-kasus tertentu tidak bisa kemudian digeneralisasi. Menurutnya, hal itu ilmiah dan tidak masalah secara keilmuan.
Dalam akhir paparannya, Prof. Aqil juga menegaskan bahwa ia sangat mendukung upaya-upaya yang dikembangkan LPMQ dalam menjaga dan mengawal kesahihan Al-Qur’an di Indonesia. "Silahkan dikembangkan hal-hal yang bersifat memudahkan masyarakat dengan tetap bertumpu pada literatur-literatur yang ada. Jika semua tahapan ilmiah telah terpenuhi, kita siap untuk diskusikan seperti yang sudah-sudah. Terlebih prinsip al-taisir al-‘ammah yang dikembangkan LPMQ adalah sama seperti dengan al-maslahah al-mu’tabarah." Demikian tutup guru besar ushul-fiqh yang pernah juga menjabat Menteri Agama RI ini.
Sementara narasumber kedua, Dr. Husnul Hakim menjelaskan dari aspek kesejarahan. “Pada masa Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 Ḥ/ 1052) para ulama memang berbeda pendapat dalam persoalan waqaf. Sebagian ulama menyatakan bahwa waqaf itu ada 4 (empat) macam, yaitu tamm (sempurna), kȃfin jȃ’iz (cukup lagi boleh), shalih mafhum (bagus saja sebab sudah bisa dipahami), qabih matruk (tidak boleh berhenti). Sementara menurut ulama yang lain, waqaf terbagi dalam 3 (tiga) kategori, yaitu tamm, kafin atau ja’iz, dan qabih. Bahkan, yang lain hanya membagi dalam dua kategori, yaitu tamm dan qabih.
Berangkat dari tesis di atas, menurutnya, ‘tanda-tanda waqaf dalam mushaf al-Qur’an Indonesia tidak selalu harus sama dengan mushaf-mushaf Al-Qur’an di negara-negara lain, bahkan dengan mushaf Al-Qur’an yang diterbitkan oleh Saudai Arabia sekalipun. Karena itu, standardisasi waqaf yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Agama, seharusnya tidak dipandang sebagai bentuk pembatasan, tetapi semata-mata untuk dijadikan pegangan bagi siapa saja yang hendak membaca Al-Qur’an (al-maslahah al-mursalah), agar tidak salah dalam mewaqafkan atau memulai bacaan di sembarang tempat, karena dikhawatirkan akan terjadi reduksi atau penyimpangan dari maksud yang dikandung oleh ayat tersebut.’ Demikian pungkasnya. (znl)

 

Secara kebahasaan, kata "moderasi" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung dua makna, pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Secara lebih luas, moderasi juga bermakna suatu kegiatan untuk melakukan peninjauan agar tidak menyimpang dari aturan yang berlaku yang telah ditetapkan.

Moderasi sering disejajarkan maknanya dengan istilah wasathiyyah dalam ajaran Islam. Penyejajaran tersebut tidak sepenuhnya tepat, karena dimensi makna wasathiyyah memilki cakupan makna yang lebih luas. Hal itu disampaikan oleh Muchlis M. Hanafi dalam kegiatan Diseminasi Hasil Kajian Al-Qur'an yang diselenggarakan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) bekerja sama dengan UIN Sultan Thaha Saifuddin, Jambi.

Menurut Muchlis,  kata moderat tidak sepenuhnya bisa mewakili kandungan makna wasathiyyah. Terlebih bila hanya mengacu pada dua makna moderasi di atas. Bisa dikatakan, dalam moderasi ada wasatiyyah, namun tidak semua yang dikandung wasatiyyah ada dalam moderasi.

"Kandungan makna wasathiyyah lebih dari makna moderat yang kita dengar saat ini, karena dalam wasathiyyah ada nilai-nilai kejujuran, keadilan, kasih sayang, toleransi dan sebagainya," ungkap Kepala LPMQ tersebut.

Wasathiyyah berasal dari kata wasath. Dalam Al-Qur'an, kata wasath dengan berbagai derivasinya terulang sebanyak lima kali, Surah al-Baqarah: 143 dan 238, Surah al-Maidah: 89, Surah al-Qalam: 28, dan Surah al-Adiyat: 5.

Dalam kelima ayat tersebut, makna wasath semuanya berkonotasi positif. "Kata wasath dalam bahasa Arab sering diantonimkan dengan kata tatharruf, al-ghulluw atau at-tanattuk yang bermakna mujwazat al-had atau berlebih-lebihan hinggan melewati ambang batas. Namun karena keterbatasan cakupan bahasa kita, maka dipakailah kata itu. Paling tidak, itulah pilihan kata yang paling mendekati maknanya." Jelasnya menambahkan.

Bila yang dikehendaki dari makna kata moderasi adalah wasathiyyah, maka itu sangat sesuai dengan prinsip-prinsip syariat ajaran Islam. Dan sudah barang tentu sikap tersebut juga sesuai dan dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Sikap moderat atau wasathiyyah dalam hal ini akan menjadi solusi mujarab untuk merespons dinamika berkebangsaan di tengah maraknya intoleransi, radikalisme dan fanatisme kelompok berlebihan yang berpotensi merusak keutuhan bangsa.

Sebab itulah, menurut Muchlis, umat Islam harus mengkaji lagi ajaran agamanya dengan benar, agar mereka tetap menjadi umat yang tengahan. Tidak terjebak dalam praktik beragama yang berlebihan, tidak terlalu literal, atau menjadi liberal. Agama bukanlah semata untuk Tuhan, tetapi juga untuk kemanusiaan. [bp]

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an (LPMQ) terus mengembangkan layanannya untuk masyarakat. Pesatnya perkembangan teknologi digital meniscayakan LPMQ turut memanfaatkan. Produk-produk layanan Al-Qur'an diselaraskan dengan teknologi kekinian. Salah satunya adalah dengan membangun layanan Aplikasi Al-Qur'an digital berbasis Android. Aplikasi tersebut bisa di-download via PlayStore dengan nama Qur'an Kemenag.

Selain banyak manfaatnya, aplikasi Al-Qur'an digital memiliki sejumlah kelemahan bila dibandingkan dengan mushaf Al-Qur'an cetak. Sebab, menurut Kepala LPMQ, Dr. Muchlis M. Hanafi, MA, posisi Al-Qur'an cetak belum tergantikan oleh membludaknya aplikasi Al-Qur'an digital di dunia maya.

Beberapa problem yang dihadapi Al-Quran digital antara lain, pertama, soal otoritas. Otoritas yang dimaksud di sini adalah siapa yang berani memberikan garansi bahwa semua Al-Qur'an digital yang begitu banyak, semuanya telah bebas dari kesalahan? Siapa pihak yang menjamin kesahihannya? Secara aturan, LPMQ adalah penanggungjawabnya. Namun, hal itu, belum bisa dilaksanakan dengan maksimal, mengingat begitu banyaknya layanan Al-Qur'an digital dalam bentuk aplikasi dari berbagai penjuru sunia yang bisa diunduh secara bebas di internet.

Berbeda dengan mushaf Al-Qur'an cetak. Hampir seluruh penerbit Al-Qur'an di Indonesia mentashihkan master mushafnya kepada LPMQ. Sehingga, kesahihannya lebih terjaga.

Kedua. Problem otentisitas. Teknologi bak pisau bermata dua. Berguna sekaligus berbahaya. Begitu juga ketika teks Al-Qur'an yang melazimkan bebas dari salah diformat dalam bentuk aplikasi. Otentisitasnya rawan tercederai.

"Bisa karena salah input data, sistem yang error atau hal teknis lainnya yang bisa menganggu otentisitas Al-Qur'an. Hal itu minim kita dapati dalam mushaf Al-Qur'an cetak," ungkap Muchlis dalam kegiatan FGD di Bayt Al-Qur'an Jakarta minggu lalu.

Ketiga, soal sakralitas. Ada yang terasa berbeda bila kita membandingkan antara membaca Al-Qur'an dengan mushaf cetak dan membaca dengan Al-Qur'an digital.

Perbedaan rasa tersebut menurut Muchlis karena faktor sakralitas. "Kita akan lebih khusyuk dan fokus saat membaca Al-Qur'an dengan mushaf cetak. Berbeda dengan mushaf digital, kekhusyukan kita sering terganggu dengan berbagai pesan yang tiba-tiba saja masuk di smart phone. Fokus kita juga sering terganggu dengan berbagai iklan yang terkadang tiba-tiba juga muncul di saat kita asik membaca," terangnya.

Kondisi tersebut menjadi titik kurang dari aplikasi Al-Qur'an digital. Terlebih, dengan maraknya komodifikasi Al-Qur'an atau transformasi Al-Qur'an menjadi komoditas atau objek dagang.

"Berbagai iklan yang mendatangkan rupiah bisa masuk dalam aplikasi Al-Qur'an. Kalau iklan busana muslim, bisa kita maklumi. Tapi kalau iklan obat kuat muncul dalam aplikasi Al-Qur'an digital, ini membikin kita gagal fokus," candanya disambut tawa peserta kegiatan.[bp]

Pada 26-28 November 2019 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) menggelar sidang reguler pentashihan mushaf Al-Qur’an yang terakhir untuk tahun anggaran 2019. Dalam sambutannya, Dr. H. Muchlis M. Hanafi, Kepala LPMQ menjelaskan beberapa hal penting, terkait empat tahapan penyalinan mushaf, kompetensi pentashih, maupun pengembangan mushaf Al-Qur’an Standar.

Rabu, 27 November 2019, pukul 11.30-12.30 WIB BQMI memberikan edukasi kepada kelas XII IPA 1 dan 2 Madrasah Aliyah Negeri 2 Babakan dengan materi tentang Mushaf Standar Braille, mushaf untuk para tunanetra. Karakter huruf Braille yang hanya berbentuk titik-titik timbul dengan maksimal jumlah 6 buah titik menjadi salah satu koleksi yang sangat menarik bagi pengunjung. "Bagus sekali, ternyata ada mushaf untuk para tunanetra yang sangat jauh berbeda dengan mushaf kita, dan cara bacanya juga rumit ya kalau kita (yang awas) yang baca," demikian komentar salah satu peserta edukasi.

Kontak

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an
Gedung Bayt Al-Qur`an & Museum Istiqlal
Jalan Raya TMII Pintu I Jakarta Timur 13560
Telp: (021) 8416468 - 8416466
Faks: (021) 8416468
Web: lajnah.kemenag.go.id
Email: lajnah@kemenag.go.id
© 2023 Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an. All Rights Reserved